Tentang Tata Ruang Sumatera

Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.

Rabu, 29 September 2010

Perangkap Pola Kemitraan

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/03211625/perangkap.pola.kemitraan

Jumat, 24 September 2010 | 03:21 WIB

Konflik lahan yang berlarut-larut tidak lepas dari pilihan strategi pengembangan ekonomi nasional yang lebih berpihak pada investasi besar. Pemerintah lebih memilih pemasukan dari pajak dan retribusi perusahaan besar
yang lebih mudah ditarik daripada mengurusi petani kecil-kecil yang lokasinya tersebar dan sebagian besar gurem.

Akibatnya, masyarakat yang tidak memiliki bukti kepemilikan yang kuat atas tanah yang mereka tempati turun-temurun berakhir menjadi buruh. Yanuar Fitri, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi, mencatat, konflik masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan kelapa sawit menunjukkan kenaikan sejak pola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) diterapkan.

Melalui pola ini, petani menyerahkan lahannya kepada perusahaan untuk dikelola. Para petani memilih pola ini karena keterbatan akses terhadap modal. Meskipun secara de facto mereka adalah pemilik lahan, secara de jure bukti kepemilikan lahan sangat lemah. Mayoritas petani hanya memiliki surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan kepala desa setempat. SKT tidak diakui dalam sistem legal formal kepemilikan lahan sehingga tidak bisa dipakai mengajukan pinjaman ke bank. Selain itu, kebanyakan bank tidak mau memberi pinjaman perorangan dengan alasan risiko pengembalian.

Pola kemitraan antara petani pemilik lahan dan perusahaan bisa saling menguntungkan jika ada transparansi dari pihak perusahaan terkait. Perusahaan yang memiliki akses permodalan dan menguasai teknologi mengelola perkebunan untuk mendapat hasil maksimal tidak perlu repot mencari lahan produktif.

Dalam praktik, petani justru sering dirugikan karena perusahaan tidak transparan melaksanakan kemitraan. "Perusahaan tidak terbuka menjelaskan risiko ataupun klausul kesepakatan kerja sama, seperti besar kredit yang sudah dibayar petani, berapa sisa utang mereka, bagaimana nasib lahan yang dikerjasamakan jika hak guna usaha habis," papar Yanuar.

Berdasarkan catatan Kompas, konflik akibat pola kemitraan semacam tahun ini antara lain terjadi di Jambi dan Riau. Awal Mei lalu, satu petani plasma di Kabupaten Batang Hari, Jambi, tertembak saat aksi pendudukan pabrik milik perusahaan kelapa sawit PT Tunjuk Langit Sejahtera. Para petani kecewa perusahaan tidak kunjung melakukan akad kredit tanah. Padahal, angsuran kredit petani selama 10 tahun telah melampaui nilai utang petani.

Di Riau, dua warga Desa Koto Cengar, Kabupaten Kuantan Singingi, Juli lalu, tewas tertembak aparat Brimob Kepolisian Daerah Riau dalam kerusuhan di perkebunan kelapa sawit PT Tri Bakti Sarimas. Warga anggota Koperasi Unit Desa Prima Sehati merasa dibohongi karena pembagian hasil dari kebun sawit yang mereka dapat tidak seperti yang dijanjikan.

Menurut Yanuar, banyak informasi penting yang seharusnya diketahui warga peserta kemitraan. Sebagai contoh, lahan harus dikembalikan ke negara setelah HGU habis. "Di Jambi, rata-rata HGU sudah berumur 20 tahun, sementara belum ada aturan jelas terkait relokasi dan redistribusi lahan warga. Setahu warga, lahan yang tidak lagi dikelola perusahaan otomatis kembali kepada masyarakat," tutur Yanuar.

Kejelasan mekanisme pengelolaan lahan pasca-selesainya HGU perlu diperjelas agar warga bisa mempersiapkan diri setelah pola kemitraan berakhir. Yanuar mengatakan, banyak warga yang sekarang menikmati bagi hasil kelapa sawit terancam tidak memiliki apa-apa setelah HGU perusahaan berakhir dan
kemitraan selesai. (DOT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar