Tentang Tata Ruang Sumatera

Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.

Selasa, 10 Mei 2011

tapal batas wilayah sumbar

Lima Batas Belum Tuntas
Padang Ekspres • Selasa, 10/05/2011 11:48 WIB • (no)
Tidak selesainya tapal batas tersebut karena masih banyak pemerintah kabupaten dan kota yang bersoal tentang cakupan wilayah perbatasan di peta wilayah administratif dengan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Kepala Biro Pemerintahan dan Kependudukan Sumbar, Fachril Murad mengatakan, untuk keperluan penyelesaian tapal batas antarkabupaten dan kota dalam provinsi ini telah dianggarkan Rp947 juta melalui APBN 2011.

“Dana itu langsung ke pemerintah kabupaten dan kota, Pemprov hanya memfasilitasi. Diminta kabupaten dan kota menyiapkan Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD), sehingga pelaksanaan batas wilayah bisa selesai secepatnya,” kata Fachril kepada Padang Ekspres di ruang kerjanya, kemarin (9/5).

Pada daerah-daerah perbatasan yang telah selesai tersebut ditandai dengan pilar yang dibangun setiap 1 kilometer. Pada titik-titik itu juga telah ditentukan koordinatnya, sehingga jika patok atau pilar itu hilang maka koordinatnya masih bisa dilihat. Sedangkan pada daerah yang padat penduduk disarankan untuk perapatan pilar, misalnya dulu berjarak 1 kilometer bisa dirapatkan menjadi per 500 meter.

”Penting juga untuk diingat, batas administrasi pemerintahan tidak akan menghilangkan hak-hak keperdataan seseorang. Meskipun, ulayatnya berada di antara dua kabupaten dan kota yang berbeda, namun tetap menjadi haknya. Sebab, masing-masing kabupaten dan kota akan mengakuinya. Begitu juga dengan batas provinsi,” jelasnya.

Diungkapkannya, masih ada 5 tapal batas antarkabupaten dan kota di Sumbar yang belum dikerjakan sama sekali. Yaitu, Padang-Solok, Padangpariaman-Pariaman, Padangpariaman-Agam, Agam-Bukittinggi, Limapuluh Kota-Sijunjung.

Sementara, yang sudah selesai, di antaranya, Padang-Pessel dengan panjang batas 32 km, yang dikerjakan oleh Padang tahun 2006 sepanjang 16 km dan sisanya oleh Pessel tahun 2008. Selain itu, untuk batas Pasaman-Agam sepanjang 80 km telah tuntas pada tahun 2004. Peta batas wilayah administrasi antara Pasaman dan Agam juga sudah terintegrasi, namun belum mendapat pengesahan dari Kemendagri karena adanya pemekaran wilayah, sehingga peta batas wilayah administratif yang telah digabungkan perlu dilakukan revisi kembali.

Begitu juga Pasaman-Pasaman Barat yang memiliki tapal batas sepanjang 124 km. Sepanjang 62 km yang menjadi tanggung jawab Pasaman telah dilaksanakan. Bahkan, pada tahun 2009, Pasaman juga telah melakukan perapatan pilar batasnya dengan Pasaman Barat sepanjang 10 km, yang rencananya akan dilanjutkan tahun ini.

Selebihnya, masih banyak kabupaten dan kota yang belum menyelesaikan tanggung jawabnya untuk menuntaskan perbatasan ini, yang mengakibatkan pengerjaannya terbengkalai. Seperti batas kabupaten Solok-Solok selatan sepanjang 57,5 kilometer, yang dikerjakan tahun 2005 sepanjang 5 km dengan dana APBD kabupaten Solok. Sementara, sisanya 52,5 km masih terbengkalai. (no)
[ Red/Redaksi_ILS ]

Kamis, 05 Mei 2011

Tapal batas kota padang

Tapal Batas belum Direvisi
Hambat Penetapan RTRW Padang
Padang Ekspres • Kamis, 24/03/2011 11:55 WIB • (ayu) • 48 klik
Hal ini terungkap dalam rapat dengar pendapat (hearing) antara Pansus III dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan (Dispernakhutbun) Kota Padang, kemarin (23/3).

“Sejak tahun 1993, Pemko tak pernah melakukan rekonstruksi terhadap kawasan tapal batas. Padahal, di kawasan tapal batas telah terjadi pergeseran tanda bahkan ada tanda tapal batas yang raib begitu saja. Dalam waktu dekat Pemko bersama Pemprov akan melakukan pengukuran ulang terhadap wilayah tapal batas di seluruh Sumbar termasuk Padang,” kata Kasi Inventarisasi Tata Guna Hutan Dispernakhutbun, Remran.

Remran menyebutkan, ada kejadian di Kototangah, walau wilayah itu termasuk kawasan hutan lindung, namun sudah ada sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) 11 sertifikat. Sebetulnya, mana boleh masyarakat memiliki sertifikat atas lahan yang menjadi kawasan hutan lindung. “Kami dari pemerintah daerah tidak mengakui sertifikat kepemilikan lahan itu,” tuturnya.

Saat ini, luas areal hutan di Padang 36.505 ha. Sebanyak 23.645 ha kawasan hutan suaka alam dan 12.840 ha hutan lindung. “Kami yakin luas areal  kita tak akan jauh berbeda dengan pengukuran ulang yang akan kami dan tim provinsi lakukan untuk wilayah tapal batas wilayah,” ucapnya.

Anggota DPRD Hadison mengatakan, tanpa merujuk tapal batas wilayah yang  terbaru, maka penyusunan Ranperda RTRW hanya akan sia-sia. Sebab, harus mengakomodir aturan terbaru soal tapal batas.

Sampai hari ini, DPRD belum mendapat kepastian dari pemerintah dalam lampiran peta wilayah yang telah diberikan sudah mengakomodir perubahan tapal batas wilayah dari pemerintah pusat. Jika Ranperda RTRW ditetapkan, maka untuk merevisi ranperda ini dibutuhkan waktu 5 tahun lagi untuk merevisinya.

“Untuk merevisi perda tidak bisa semaunya kita namun harus menunggu waktu 5 tahun lagi. Alangkah baiknya jika tapal batas wilayah ini diperjelas dulu,” ucapnya.

Anggota pansus lainnya, Jamasri  juga mempertanyakan Ranperda RTRW sudah mengacu dengan Ranperda RTRW Sumbar. “Jika daerah menetapkan Perda RTRW  lebih awal, konsekuensinya tetap saja daerah harus merevisi Perda RTRW. Namun sampai hari ini belum ada kepastian perda RTRW provinsi dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat,” ujar  politisi Partai Golkar itu.

Karena itu, wakil ketua Komisi III itu mengusulkan Padang mesti menunda  penetapan Perda RTRW hingga Perda RTRW provinsi ditetapkan dan kejelasan tapal batas.

“Saran saya, kita tak perlu bekerja dua kali. Pemko kan bisa melakukan koordinasi dengan provinsi soal ini.  Baik soal tapal batas wilayah ataupun hal-hal prinsip yang telah diatur dalam Perda RTRW  yang dapat dimungkinkan akan mempengaruhi ranperda RTRW yang telah disusun. Kejelasan tapal batas wilayah ini harus jelas  dulu,” katanya. (ayu)
[ Red/admin ]

RTRW terkendala peruntukan lahan

RTRW Tertunda Peruntukan Lahan
Padang Ekspres • Jumat, 15/04/2011 13:17 WIB • no • 26 klik
“Persetujuan DPR RI ini diperlukan terkait perubahan peruntukan hutan untuk areal penggunaan lain, bukan kawasan hutan lagi, di mana tidak ada kewenangan Menteri Kehutanan menyetujuinya,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Octavia, di ruang kerjanya, kemarin.

Dikatakan Hendri, perubahan peruntukan kawasan hutan untuk areal penggunaan lain (APL) terjadi penambahan seluas 120.057 hektare, berdasarkan rekomendasi Tim Terpadu Usulan Revisi RTRW Sumbar.
Sebelumnya, dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 422/1999, penunjukan kawasan APL seluas 1.629.444 hektare, kemudian tim terpadu merekomendasikan menjadi 1.885.693 hektare.

Perubahan fungsi dan peruntukan hutan ini juga mempengaruhi luas hutan di Sumbar. Dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 422/1999 tersebut, luas kawasan hutan Sumbar (darat dan air) 2.600.286 hektare atau 61,48 persen dari luas provinsi Sumbar. Luas kawasan hutan ini dibagi menjadi hutan suaka alam dan wisata (KSA/KPA) 846.175 hektare, hutan lindung (HL) 910.533 hektare, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 246.383 hektare, hutan produksi (HP) 407.849 hektare, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 189.346 ha.

Sementara itu, berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian tim terpadu, direkomendasikan luas kawasan hutan provinsi Sumbar menjadi 2.344.037 ha (55,42 persen dari luas Sumbar) atau berkurang 120.057 ha. Berdasarkan hasil rekomendasi tersebut, maka terdapat pengurangan luas hutan KSA/KPA 1.077 ha, hutan lindung berkurang 131.737 ha, hutan produksi terbatas terjadi penambahan seluas 17.287 ha, hutan produksi terdapat pengurangan seluas 47.047 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi terjadi penambahan luas 42.517 ha.

“Kami sedang menunggu pokja DPR melakukan pengkajian dan penelitian terkait penambahan APL. Kalau pokjanya sudah terbentuk dan bekerja, RTRW Sumbar sudah bisa dibahas dan disahkan,” tutur Hendri.

Sementara itu, untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumbar yang beroperasi sekarang hanya diberikan kepada tiga perusahaan, yaitu, PT Minas Lamber, yang beroperasi di Kepulauan Mentawai terhadap hutan sekitar 70 ribu ha. HPH untuk PT Minas Lumber tersebut berakhir April tahun ini. Yang lainnya diberikan kepada PT ANT yang mengusahakan hutan di Solok Selatan seluas 28 ribu ha. Serta, PT Sumber Surya Semesta (SSS) di pulau Siberut seluas 40 ribu ha. (no)
[ Red/Redaksi_ILS ]

RPJM kota Padang

RPJM Dinilai Copy Paste
Indikator Pencapaian tak Jelas
Padang Ekspres • Jumat, 22/04/2011 10:48 WIB • (ayu) • 26 klik
Sawahan, Padek—Revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Padang dinilai hanya copy paste atau menyalin RPJM daerah lain. Karena itu, DPRD Padang mendesak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Padang menyusun skala prioritas rencana pembangunan per tahun. Tanpa itu, sulit mengukur pencapaian RPJM yang telah disusun pemerintah.
Hal ini terungkap dalam rapat dengar pendapat antara  Pansus I DPRD Padang dengan Bappeda kemarin (21/4). Rapat dipimpin Ketua Pansus I Syamsu Sulin. Rapat dihadiri Kepala  Bappeda Hervan Bahar.
”Gempa  30 September lalu telah  mengubah wajah Padang. Banyak bangunan yang rusak parah akibat gempa. RPJM Padang disahkan pada Juli 2009.

Dapat dikatakan saat penyusunan RPJM belum  mengakomodir program mitigasi bencana. Makanya, kami ajukan revisi RPJM untuk mengakomodir apa yang tertinggal di RPJM sebelumnya,” ujar  Kepala Bappeda Padang Hervan Bahar.
Dia menyebutkan, revisi Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) turut mendasari dilakukan revisi RPJM. Penyusunan RPJM di 2009 lalu telah melalui proses panjang dan kajian matang serta pembahasan alot. RPJM 2009- 2014  memuat visi menuju Padang metropolitan yang religius, aman dan sejahtera.

Pemko telah menetapkan lima arah kebijakan pembangunan, yaitu peningkatan kinerja aparatur dan perbaikan citra lembaga pemerintah. Lalu, meningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, pemerataan dan pengembangan kawasan dan penanggulangan bahaya bencana, pengembangan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan dan pengangguran serta pengembangan kerja sama antarlembaga dan antardaerah menuju metropolitan.
”Dalam revisi RPJM, juga disebutkan penerapan Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Filosofi  itulah ingin kita  hidupkan lagi,”  katanya.
Anggota DPRD Padang, Rahayu Purwanti melihat revisi RPJM tak terlihat posisi pencapaian yang telah dilakukan Pemko. Tak hanya itu, secara historis filosofi ABS-SBK belum dapat dilihat bentuk nyatanya di Ranah Minang.
“Nilai apa saja dari filosofi ABS-SBK itu yang menjadi roh RPJM? Bentuk konkretnya seperti apa yang akan dituangkan dalam revisi RPJM  Padang yang terbaru? Sebab, tentu sulit menjadikan itu sebagai indikatornya. Untuk nilai adat yang mana yang akan kita akomodir dalam revisi RPJM yang ada,”  ucapnya.

Selain itu, katanya,  visi RPJM yang memuat visi menuju Padang Metropolitan, religius, aman dan sejahtera sulit mengukur indikator dan pencapaiannya. Sebab, visi itu sangat abstrak. “Bagaimana  kita dapat mengukur rasa aman dan sejahtera? Tentu harus ada standardisasi yang jelas terhadap makna dari visi kota tersebut. Kita tak pernah tahu sudah sampai di posisi mana pelaksanaan RPJM 2009- 2014 saat ini,” kata politisi PKS itu.
Menanggapi itu, Kepala Bappeda Hervan Bahar mengungkapkan, penerapan filosofi ABS-SBK telah dilakukan sebelum revisi RPJM  diajukan. Bentuk konkret ABS-SBK itu adalah wajib pandai baca Al Quran,  Asmaul Husna, wirid remaja dan pesantren Ramadhan.  

“Memang skala prioritas per tahun itu tidak kita berikan bahannya pada DPRD. Terkait dengan copy paste tadi, saya rasa tentu kita perlu mengakomodir penyusunan RPJM dari daerah yang telah berhasil. Namun, pada hakikatnya dalam penyusunan revisi RPJM, kita melibatkan banyak ahli,” tutupnya. (ayu) 
[ Red/Redaksi_ILS ]

Mitigasi vs RTRW

Mitigasi Tersangkut RTRW
Dana Minim, Pemprov Bingung
Padang Ekspres • Jumat, 25/03/2011 10:17 WIB • marisa elsera • 69 klik
belum ditempati: Rumah susun sewa (Rusunawa) di kawasan Purus, Kota Padang telah
Tak hanya RTRW yang menjadi persoalan Sumbar. Pemprov juga bingung mempergunakan anggaran mitigasi bencana yang berasal dari APBD dan APBN yang minim.

Padahal, pemprov telah merancang upaya meminimalisir bencana itu sejak awal. Dengan dana minim itu, pemprov terpaksa ”diet” pembelanjaan. Akibatnya, pembangunan fisik seperti pembangunan shelter dan jalur evakuasi dikejar dalam beberapa tahun anggaran. Begitupun dengan upaya mitigasi nonfisik juga harus diciutkan untuk menghemat dana.

Kabid Pengembangan Wilayah dan Lingkungan Hidup Bappeda Sumbar, Sigit Padmono menjelaskan, untuk pembangunan dan pelebaran jalur evakuasi, masih menggunakan APBD.Sementara untuk pembuatan escape building dan shelter, diharapkan dari APBN yang pembangunannya diangsur dalam beberapa tahun.

Meski tahun ini tidak ditargetkan pembangunan fisik untuk mitigasi bencana selesai, tapi setidaknya pemprov berusaha agar 31 Desember semua dana terserap. “Kami sudah merancang program pembangunan dan memperkirakan biayanya. Memang dana yang ada masih minim. Misalnya untuk pembangunan beberapa gedung pemerintahan lengkap dengan shelter.
Hanya tersedia dana APBN Rp300 miliar dan dari APBD Rp38,5 miliar,” tutur Sigit saat ditemui Padang Ekspres di ruang kerjanya, Kamis (24/3).

Yang jadi persoalan kini, dana pembebasan lahan untuk pembangunan jalur evakuasi. Sementara untuk pembangunan shelter dan escape building seperti di kantor gubernur, Bappeda, RSUP M Djamil, Pasar Raya, Polda dan Kejati juga harus menunggu hingga beberapa tahun anggaran. Sebab, dana yang diturunkan dari APBN belum mencukupi untuk menutup biaya pembangunan sejumlah gedung pemerintahan tersebut.

Sementara untuk enam kabupaten/kota lainnya, juga telah direncanakan akan dibangun jalur evakuasi. Misalnya di Pesisir Selatan, dibangun jalan dari Pasar Baru menuju Alahan Panjang, jalan-jalan menuju bukit Langkisau dan jalan dari Batang Kapas.

“Begitu juga di Agam, kita percepat pembangunan jalur Tiku dan Simpang Empat. Untuk daerah lainnya, kita tunggu dulu RTRW dari daerah tersebut. Karena, pembangunan jalur evakuasi merupakan koordinasi antara kabupaten/kota, pemprov dan pusat,” tuturnya.

Seawall
Di singgung mengenai ide pembuatan seawall (dinding laut) seperti yang diutarakan ahli konstruksi dari Jepang dan Tim 9, diakui Sigit belum ada pembicaraan ke arah sana. Mengingat biaya pembuatan seawall sangat mahal, tentunya tidak bisa tertutupi dengan APBD dan APBN.

Rencananya, untuk daerah pinggir pantai Pariaman akan dibangun lahan hijau yang ditanami kelapa, cemara laut dan ketapang. Sementara untuk Padang, pemko berencana membuat tanah lapang yang hanya ditumbuhi mangrove, dijadikan tempat olahraga, restoran dan rest area. Namun, tidak diizinkan lagi untuk pembangunan permukiman.

Bahkan dalam waktu dekat ini, pemprov sedang merancang perda bangunan gedung di pinggiran pantai. Perda yang tengah digarap itu, disusun sesuai standar khusus. Pembangunan permukiman di zona merah nantinya akan dilarang setelah perda diterapkan.

Sebelumnya, Kabid Bina Marga Dinas Prasjal Tarkim Sumbar, Maihalfitri menjelaskan untuk pembangunan jalur evakuasi Alai-Bypass dibutuhkan dana hingga Rp42 miliar. Belum lagi untuk pelebaran jalur evakuasi lainnya di tujuh kabupaten/kota di pinggiran pesisir pantai.

Idealnya, untuk jalan evakuasi dibutuhkan dua jalur dengan lebar minimal 17 meter. Bagi jalan evakuasi yang belum memenuhi ketentuan itu, akan diperlebar. Misalnya untuk jalan Alai-Bypass, setelah dilaksanakan survei teknis, diketahui lebar jalan tidak simetris mulai 13 meter hingga 20 meter. Lebar yang tidak sama itu nantinya akan ditata hingga simetris yakni selebar 17 meter. (*)

perdagaangan karbon

Perdagangan Karbon Ditunda
Tidak Ada Kejelasan Regulasi
Padang Ekspres • Rabu, 20/04/2011 11:55 WIB • gusriyono • 91 klik
“Kami telah mengadakan rapat dengan Mendagri dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan disepakati bahwa perdagangan karbon di Sumbar ditunda. Karena belum ada regulasi yang mengatur jual-beli karbon tersebut,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Hendri Oktavia, kepada Padang Ekspres, kemarin.

Regulasi yang dimaksud Hendri, menyangkut pembayaran karbon yang dijual dan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Begitu juga siapa yang akan membayar karbon tersebut juga tidak jelas.
“Belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang hasil penjualan karbon. Peraturan teknisnya juga belum ada. Perdagangan karbon ini dari hutan lindung yang dijaga atau dari hutan kritis yang ditanami,” ungkapnya.

Dikatakan Hendri, setidaknya sudah tiga periode gubernur di Sumbar perdagangan karbon ini ditawarkan oleh orang yang sama. Sebelumnya, pada masa pemerintahan gubernur Gamawan Fauzi, datang orang dari Carbon Strategic Global (CSG) yang berkantor di Sidney, Australia, menawarkan perdagangan karbon. Namun gubernur waktu itu minta ditunda. Setelah itu, pada masa gubernur Marlis Rahman, datang lagi orang yang sama dari CSG ini menawarkan dagangannya yang dulu juga. Pada saat itu, gubernur juga minta ditunda.

“Sekarang datang lagi, orangnya itu juga, tapi perusahaannya sudah beda, yaitu, Asia Pasifi Carbon (APC) yang berkantor di Singapura. Tapi ini juga ditunda, karena belum ada kejelasan menyangkut tawaran-tawaran mereka itu,” tutur Hendri.
Sebelumnya, terhadap tawaran CSG, Pemprov Sumbar pernah mengusulkan untuk menjual oksigen yang dihasilkan 865.560 hektar hutan lindung yang tersebar di 10 kabupaten. Yaitu, hutan lindung di kabupaten Solok 126.600 hektare, Solok Selatan 63.879 hektare, Tanahdatar 31.120 hektare, Pesisir Selatan 49.720 hektare, Pasaman 232.660 hektare, 50 Kota 151.713 hektare dan Agam 34.460 hektare. Lalu di Pasaman Barat 56.829 hektare, Padangpariaman 19.894 hektare, Sijunjung 85.835 hektare dan kota Padang seluas 12.850 hektare.

Terhadap ini CSG menawarkan kompensasi Rp900 miliar per tahun untuk oksigen yang diproduksi hutan-hutan lindung tersebut dan akan menjualnya kepada negara-negara penghasil CO2 terutama negara-negara industri maju di Eropa. Namun, kesepakatan ini batal karena belum ada kejelasan regulasinya.

Ketidakjelasan regulasi ini juga diungkapkan oleh direktur eksekutif Walhi Sumbar, Khalid Syaifullah. Menurutnya, sampai hari ini belum ada aturan tentang perdagangan karbon di Indonesia. Hanya pemerintah saja yang ngotot mengambil mekanisme perdagangan karbon itu bagian dari konsep perubahan iklim.

“Sebenarnya pemerintah belum siap. Ketika pemerintah belum siap ini justru amat membahayakan masyarakat dan pemerintah sendiri.  Karena mekanisme carbon trade ini justru mengabaikan hak-hak masyarakat terutama bagi yang berada di kawasan proyek utama perdagangan karbon itu,” katanya.

Diungkapkan Khalid, bukan karbon trade itu yang penting dalam menghadapi perubahan iklim. Tapi penyebab perubahan iklim itu di Indonesia dari alih fungsi lahan. Menurutnya, aktivitas alih fungsi lahan harus dihentikan.(*)