Tentang Tata Ruang Sumatera

Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.

Rabu, 29 September 2010

PENYELESAIAN KONFLIK Menyerang Lewat Pasar

Kompas Jumat, 24 September 2010 | 03:06 WIB

Pengalaman sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga dalam penyelesaian konflik lahan menunjukkan, berjuang tidak cukup berbasis ideologi. Banyak celah yang harus disusupi agar perusahaan yang berkonflik mau bernegosiasi.

"Perusahaan tidak takut kepada pemerintah. Mereka lebih takut kepada bank yang memberi pinjaman dan pasar produk mereka," kata Nurbaya, Kepala Divisi Pendidikan Publik Yayasan Setara Jambi, dalam suatu percakapan di kantornya, akhir Agustus lalu.

Yayasan Setara mengadvokasi suku Anak Dalam-mereka sendiri lebih suka disebut Orang Rimba-warga Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi, yang terlibat konflik lahan dengan perusahaan kebun sawit PT Asiatic Persada. Konflik lahan sudah mencuat sejak 1998, tetapi tidak pernah ada solusi yang diterima warga ataupun perusahaan. Tahun 2008, Pemerintah Provinsi Jambi sempat melakukan mediasi dengan tawaran pola kemitraan atas 1.000 hektar lahan yang disengketakan. Namun, tidak semua warga setuju dengan opsi
penyelesaian itu.

Warga yang menamakan diri kelompok 133 itu termasuk yang menolak pola kemitraan. Pintu perundingan tertutup karena posisi warga yang lemah. Selama hampir enam bulan, Yayasan Setara mencari celah agar perusahaan mau merundingkan opsi lain dengan warga. Bersama-sama dengan jaringan LSM di beberapa daerah, mereka kemudian bersepakat menyerang anak perusahaan Grup Wilmar itu lewat jalur internasional.

Grup Wilmar, produsen minyak sawit mentah terbesar di Indonesia, mendapat pinjaman dari International Finance Corporation (IFC). IFC adalah anak perusahaan Bank Dunia. Sebagai debitur, Wilmar terikat pada ketentuan Bank Dunia yang mensyaratkan perusahaan menjalankan bisnis dengan menaati etika dan tata kelola yang baik. Konflik sosial dan lingkungan adalah isu serius bagi bank-bank internasional yang memberi pinjaman.

Pada Juli 2008, bersama-sama dengan warga di beberapa provinsi yang terlibat konflik dengan anak perusahaan Wilmar, warga suku Anak Dalam mengadu ke Lembaga Pengawas Kepatutan (Compliance Advisor Ombudsman). Yayasan Setara juga mengadukan konflik lahan tersebut kepada Forum Meja Bundar Minyak Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) Ke-6 di Bali, akhir 2008. Anggota forum ini terikat pada ketentuan bahwa pengelolaan perkebunan mereka tidak boleh meminggirkan masyarakat.

"Setelah kami ajukan komplain ke IFC dan RSPO soal perilaku yang tidak sesuai standar bisnis, perusahaan mau membuka ruang negosiasi; warga dan mereka sudah beberapa kali bertemu," kata Nurbaya.

Saat ini warga dalam proses persiapan perundingan dengan perusahaan. Perusahaan mau berunding karena dua hal: takut kehilangan akses pinjaman dari bank-bank internasional dan khawatir produknya ditolak pasar. Konsumen minyak sawit mentah di Eropa sangat ketat terhadap isu lingkungan.

Manager Program Yayasan Setara Rian Hidayat mengatakan, pendamping warga kerap terjebak pada pendekatan lama untuk menaikkan posisi tawar. "Pola reclaiming atau menduduki lahan tidak lagi ampuh untuk menaikkan posisi tawar karena perusahaan tinggal panggil polisi, lalu rakyat dikriminalisasi," kata Rian.

Yayasan Setara diminta masyarakat sebagai mediator karena mereka tidak percaya kepada pemerintah. Pemerintah berada di posisi yang berkonflik karena mengeluarkan izin lahan di atas lahan yang secara turun-temurun ditempati suku Anak Dalam. "Jambi termasuk provinsi yang diprioritaskan pemerintah pusat untuk diselesaikan rencana tata ruang wilayahnya. Ini menjadi salah satu indikasi tingginya konflik lahan. Ini sebenarnya momen besar untuk penyelesaian konflik, tumpang tindih lahan, ataupun ketidakberesan pelepasan kawasan, " papar Rian. (DOT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar