Tentang Tata Ruang Sumatera

Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.

Rabu, 29 September 2010

Refleksi Nasib Petani di Perkebunan Kelapa Sawit

Source: infosawit@yahoogroups.com

Bogor: 23 september 2010. Presiden SBY yang menang pada pilpres 2004 – 2009 dan kemudian berlanjut pada periode kedua 2009 – 2014 belum menunjukkan pragram berpihak pada kaum tani. Selama kepemimpinannya, baru satu kali menunjukkan dan itupun baru sekedar retorika dengan menjalankan upaya-upaya penyelesaian krisis agraria melalui distribusi tanah sebesar 9 juta ha. Sudah beberapa tahun ini, apa yang dibicarakan tersebut tak kunjung dijalankan, yang berjalan justru distribusi tanah untuk perusahaan besar seperti untuk perkebunan, pertanian, pertambangan dan kehutanan yang tentunya sudah lari jauh dari agenda kesejahteraan kaum tani.

Realisasi distribusi tanah yang digembar-gemborkan oleh SBY sebelumnya, ternyata hanya sebuah slogan nipu karena ternyata distribusi tanah yang dimaksud direalisasi dengan cara yang sudah usang. sebagaimana dijanjikan seluas 9 juta ha akan didistribusikan kepada petani sebagai solusi krisis agraria, dijalankan melalui mekanisme teori efek tetesan. Misalnya, tanah diberikan kepada perusahaan besar untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan petani mendapatkan kebun yang dibangun oleh perusahaan dalam bentuk plasma melalui skema kredit BANK. Jika ini betul-betul benar, maka ini merupakan penghinatan besar bagi petani. Ini tidak berbeda dengan rezim-rezim korporatis liberal sebelumnya. Dapat kita simpulkan bahwa, sesungguhnya tidak akan terwujud apa yang dibicarakan SBY untuk distribusi tanah 9 juta ha karena toh program nipu ini telah dijawab dengan satu skema besar di dalam perkebunan melalui revitalisasi perkebunan yang dimulai oleh SBY pada tahun 2006 dengan memperluas perkebunan kelapa sawit. Target indonesia hingga 2020 akan membuka perkebunan kelapa sawit skala besar sebesar 20 juta ha. Artinya, akan ada jutaan hektar hutan lagi yang akan dikonversi, akan ada jutaan hektar lagi tanah milik masyarakat adat untuk perkebunan besar, akan ada jutaan hektar lagi lahan pangan untuk perkebunan besar dan akan jutaan hektar lagi untuk pertambahan dan industri kehutanan dan akan ada jutta masyarakat petani lagi yang akan berkonflik.

Program pemerintah yang dengan cara pragmatis untuk menyelesaikan sengketa agraria di sektor petani merupakan cara kolonial. Masih kita mengenal, perdebatan kelompok pro pasar dan pelaksana program tanam paksa di zaman kolonial. Kala itu, sistem tanam paksa mempercepat kekayaan bagi kaum kolonial dengan menyengsarakan kaum tani di republik ini. Kelompok pro pasar atau kelompok liberal di belanda mengkritik keras atas program tanam paksa dan kemudian di rubah dengan politik etis. Politik etis di lakukan melalui tanggungjawab kolonial secara ekonomi yang walaupun tidak langsung dirasakan oleh rakyat petani kala itu. Hingga kini, pemerintah SBY masih meneruskan gagasan kolonialisme itu dengan program pragmatis di bidang perkebunan yang kami nilai jelmaan baru dari politis etis di masa kolonial. Jangan kita mengira bahwa plasma kebun rakyat 2 ha itu untuk menyejahterakan petani sawit karena hakikat ekonomi, politiknya tergantung pada perusahaan besar dan 2 ha sebagai dan sekedar politis etis industri dan pemerintah. Hal ini di tunjukkan dengan beberapa realitasnya dimana petani dan kebun plasma 2 ha dibangun dan diperhatikan dengan setengah hati oleh industri dan pemerintah hingga membatasi luasan pengelolaan rakyat dengan di patuk 2 ha saja. Masyarakat adat dipaksa menyerahkan tanahnya 5 – 10 ha untuk pembangunan perkebunan dan dikembalikan kepada masyarakat adat yang tidak terbiasa dengan sistem pertanian modern cara komersial dengan mengelola 2 ha melalui skema kredit untuk membayar perusahaan kebun yang telah menanam pohon-pohon sawit yang telah di tanam oleh mereka. Kebun Plasma milik petani di dalam perkebunan yang dimiliki oleh hampir 2,5 juta petani kelapa sawit dengan 2 ha masing-masing kepala keluarga hanya sebagai cara efisiensi perusahaan perkebunan. Perusahaan kebun akan mengeluarkan uang yang banyak jika merekrut banyak buruh kebun untuk bekerja, bahkan jika ingin lebih efisiensi lagi, perusahaan harus memperbanyak buruh harian lepas yang rela dan siap menerima upah murah. Untuk melakukan efisiensi perusahaan kebun, maka perlu diperbanyak petani plasma sekaligus membalas budi atas penyerahan tanah khusus masyarakat asli dan memperbanyak petani dengan menyediakan bahan baku yang banyak. Salah satu kunci pokok menambah keuntungan perusahaan kebun adalah perbanyak petani penghasil bahan baku dan nilai K dari cara penentuan harga tandan buah sawit. Selain itu juga, SPKS menemukan cara baru perusahaan untuk tidak mengeluarkan dana yang banyak membangun kebun plasma adalah dengan membangun kebun plasma cara murah atau dengan mengutak-utik kredit petani dari BANK kemudian memperlambat pemberian plasma kepada petani yang terlebih dahulu  dilakukan pemanenan oleh perusahaan untuk memperbanyak keuntungan.

SBY yang di atas kursi panas terus asik mendukung kebijakan pro industri dengan slogan pemerataan dan lain sebagainya untuk memperlunak kelompok kritis. Kita seakan-akan terus dibohongi dengan retorika keberpihakan SBY untuk petani di indonesia. Tanpa di sadarinya, sudah begitu banyak korban dari kebijakan SBY di dalam perkebunan. Sawit watch dalam datanya, setiap tahun konflik didalam perkebunan kelapa sawit terus meningkat dengan rata-rata 550 kasus setiap tahunnya dengan cara pembiaran oleh hukum dan pemerintah. Hasil produksi petani kelapa sawit yang sangat rendah dibiarkan begitu saja tanpa tanggungjawab, pupuk semakin langka dan mahal tanpa di hirau oleh pemerintah, kasus-kasus kemitraan yang tidak adil serta kebijakan yang berpihak pada perusahaan dan merugikan petani terus menerus muncul setiap tahunnya. Hak Guna Usaha untuk perusahaan kebun besar terus menerus diperpanjang tanpa di batasi oleh pemerintah. Sementara masyarakat petani terus menerus hidup dalam ketidakadilan dalam masalah tanah, buruh yang terus bergantung pada industri selalu diperlakukan seenaknya oleh industri yang terpaksa takluk dan tunduk karena tidak punya tanah. Sepertinya, pemerintah republik indonesia sudah malas membuat petani kita lebih pintar dan cerdas atau mungkin tidak mau dan akan lebih mempersilahkan industri atau perusahaan besar yang sudah lebih dahulu memiliki kemampuan segalanya menggarap tanah yang luas dan petani dbiarkan disingkir.

Pemerintah kita mungkin sudah lupa bahwa negara kita bukanlah negara industri yang harus berkaca pada negara-negara yang sudah maju dan kemudian mengikuti paradigma industri. Negara kita adalah negara agraris yang seharusnya memperkuat pertanian kita yang subyek di dalamnya adalah kaum tani. Program pragmatis dibidang perkebunan yang terus menerus digalang oleh rezim telah menunjukkan bahwa petani disingkirkan dan lari jauh dari reforma agraria sebagai cita-cita dasar kaum tani. Kalau mau dibilang, apa yang tidak bisa dilakukan oleh petani dan buruh kebun dalam berbudidaya kebun sawit. Jika kita menghitung data, bahwa petani sawit mandiri lebih besar jumlahnya dari pada petani plasma binaan perusahaan. Artinya, petani kelapa sawit sudah siap dan layak sebagai subyek dalam perkebunan. Namun hal ini tidak dilihat oleh pemerintah sebagai sebuah potensi untuk kebangkitan kaum tani. Justru yang dilakukan justru lain, pemerintah terus memberikan monopoli dan kekuasaan bagi perusahaan besar menguasai tanah untuk perkebunan.

Dalam memperingati hari tani pada 24 september ini, satu yang dapat kita renungkan bahwa perjuangan kaum tani hingga berdarah-darah di masa lalu melahirkan kesuksesan munculnya UU no 5 tahun 1960 sebagai dasar pelaksanaan proyek reforma agraria. Kita saat ini belum memberikan kesuksesan baru dan memberikan yang terbaik bagi kaum tani dan yang kita lakukan masih bersifat regionalisme dan minimalis dan belum melakukan yang spesifik dan maksimum untuk memberikan kenyataan bagi kemerdekaan petani. Satu juga permenungan kita, bahwa tantangan kita adalah berhadapan dengan rezim pro imperialisme yang berpihak pada proyek-proyek pasar. Begitu banyak penghianatan terhadap UU NO 5 1960 yang itu dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Satu yang kita harapkan dari pemerintah SBY-BOEDIONO saat ini untuk menghentikan proyek perluasan perkebunan besar sebagai watak ketidakberpihakan pada reforma agraria dan segera melantik petani sebagai subyek dalam perkebunan untuk menggantikan perusahaan kebun yang sudah usang dan busuk mengelola perkebunan dan menguasai tanah di tanah air.

Mansuetus Darto

Forum Nasional SPKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar