Tentang Tata Ruang Sumatera

Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.

Kamis, 14 Oktober 2010

Jangan Usir Masyarakat dari Kawasan Hutan

Untuk segera disiarkan
Joint Media Release Gerakan Pencinta Manusia
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Community Alliance for Pulp-Paper Advocacy (CAPPA), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Forum Masyarakat Pemilik Lahan, Forum Mahasiswa Jambi (FORMAJA), Kelompok Makekal Bersatu (KMB), LIRRA, Mapala Himapastik STIKES, Mapala Gema Cipta Persada UNBARI, OPPA Gita Buana Club (GBC), Mapala Pelangi Biru ASM Jambi, Perkumpulan Hijau (PH), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan SETARA Jambi

Jangan Usir Masyarakat dari Kawasan Hutan, Biarkan Hutan memberi Kehidupan buat Masyarakat

Pengantar
Pola pengelolaan kehutanan --- HPH dan HTI --- yang dijalankan oleh pemerintah, ternyata telah mengakibatkan penyusutan kawasan hutan secara massif dan drastis. Di tahun 1998, setelah rezim Orde Baru "lengser", sekitar 1,1 juta hektar kawasan HPH di Jambi tidak jelas penguasaan dan pengelolaannya. Pemegang konsesi HPH, setelah membalak kayunya, kemudian menyerahkan penguasaanya kembali ke Negara, melalui Mentri Kehutanan. Beberapa kawasan yang kemudian berstatus tidak jelas adalah PT Serestra II dan PT Injapsin di Kabupaten Merangin, total luas dua kawasan ini sekitar 140,000 hektar.



Karena ketidakjelasan pengelolaan tersebut, sejak tahun 1996, beberapa warga dari luar Kabupaten Merangin, seperti dari Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Utara --- sebagian bekerjasama dengan penduduk lokal yang melakukan jual beli kawasan eks HPH tersebut - masuk ke dalam kawasan
eks HPH, dan membangun kebun kopi. Saat sekarang, telah bermukim lebih dari 9 ribu orang dan mengelola tanaman kopi kurang lebih 10,000 hektar.

Perladangan kopi ini telah memberikan kehidupan bagi ribuan masyarakat, mereka telah membangun sistem ekonomi-sosial secara mandiri dan swadaya. Secara politis, hak pilih mereka juga dinikmati oleh elite politik setiap Pilkada. Kelompok petani kopi di Lembah Masurai merupakan deskripsi dari pergulatan kaum miskin desa tak bertanah membangun kehidupan, tanpa subsidi signifikan pemerintah - justru memberikan konstribusi langsung dan tak langsung --- dan memanfaatkan kawasan hutan terlantar dengan basis ketrampilan lokal.

Akan tetapi, tapak sejarah panjang pergulatan hidup serta dinamika sosial-ekonomi kelompok petani kopi ini, mulai terkikis, dan saat sekarang dicengkram ketakutan. Hal ini disebabkan, dikembangkannya frasa-frasa rasis ; "masyarakat lokal" dan "masyarakat pendatang", "kaum eksodus", "perambah hutan", dan kemudian disusul dengan Himbauan Bupati Merangin yang menyatakan akan ada Operasi Gabungan melibatkan pihak Pemerintah Provinsi dan Daerah, Kementrian Kehutanan dan aparat TNI untuk melakukan pemusnahan kebun kopi, pondok masyarakat dan segala benda milik masyarakat petani kopi.

Buruk Muka, Rakyat Digusur : Jangan Korbankan Rakyat akibat Pengurusan Hutan Tak Beres

Rencana pengusiran masyarakat petani kopi dan pemusnahan harta benda mereka melalui Operasi Gabungan ini, mendapatkan penentangan dari 15 organisasi LSM, mahasiswa dan organisasi masyarakat di Jambi. "Pendekatan refresif dalam menangani masalah kehutanan, yang sudah sedemikian kronis, adalah pendekatan yang tidak bijak dan tidak populer, apalagi dengan melibatkan aparat TNI dan kepolisian", kata Muhammadan, aktivis Forum Masyarakat Pemilik Lahan.

Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, produksi kopi dari Lembah Masurai, terutama di Sungai Tebal, telah menjadi komoditi ekspor dan kualitasnya lebih baik daripada produk kopi dari provinsi lain di Sumatera,
"Sayangnya, produk kopi dari daerah ini tidak diakui sebagai produk legal oleh pemerintah, sehingga sulit dimasukkan sebagai pendapatan daerah dan menjadi label produk unggulan daerah," ujar Feri Irawan, Ketua Perkumpulan Hijau (PH), "Inilah jika Pemerintah hanya berpikiran legalistik-formal saja, tidak berpikiran terbuka serta mengakomodasi kreasi swadaya masyarakat dalam membangun ekonomi," lanjutnya.

"Hal lain yang sangat penting dicegah adalah potensi konflik di akar rumput, konflik horizontal, akibat dikembangkannya istilah masyarakat lokal dan pendatang. Ini adalah istilah dan cara yang lazim dipergunakan oleh korporasi pemegang konsesi kawasan hutan, jika kemudian pemerintah ataupun pihak yang mendukung Operasi Gabungan ini mempergunakan cara-cara seperti ini, maka ini pertanda negara sudah menjadi Korporatokrasi, negara yang dalam pengelolaan mempergunakan cara-cara korporat," tegas Sarwadi dari
Serikat Petani Indonesia (SPI).

Sejarah telah mencatat, salah satu model pengelolaan kawasan hutan di Indonesia adalah dengan memberikan konsesi penguasaan hutan ke korporasi besar, dan ini terbukti gagal, karena korporasi hanya membalak hutan tanpa ada rencana pasca balak, dan salah satu buktinya adalah di 2 kawasan eks HPH di Merangin. "Harusnya ini menjadi cermin bagi pemerintah. Petani kopi hanya memanfaatkan kawasan hutanyang tidak diurus oleh korporasi dengan baik. Pola pertanian kopi ini sebenarnya bisa dikombinasi dengan pola-pola agro-forest, jadi, kenapa harus ada rencana penggusuran bahkan pemusnahan segala," kata Rukaiyah, Direktur Yayasan SETARA, "Ini pertanda pemerintah tidak peka terhadap rakyat miskin," imbuhnya.

"Penting juga dicatat, bahwa petani kopi tidak mempergunakan pestisida, mereka mengelola dengan alami, beda sekali dengan tanaman kelapa sawit, yang juga ada dalam kawasan hutan, serta akasia, yang membutuhkan banyak input kimia. Jadi kenapa mereka harus dimusuhi? Kenapa negara ini lebih menyukai
pola-pola kelola kawasan hutan yang destruktif?," jelas Rivani Noor, Direktur CAPPA,

Catatan untuk Editor :
Gerakan Pencinta Manusia, merupakan gabungan dari 15 organisasi LSM, mahasiswa dan organisasi masyarakat yang peduli pada nasib petani kopi di Lembah Masurai, juga menolak cara-cara kekerasan dalam penanganan masalah kehutanan.

.Aksi tanggal 13 Oktober 2010, merupakan aksi damai dan bersifat simbolik. Peserta aksi memakai pakaian adat dari berbagai daerah, mempergunakan topi caping petani dan membawa buah kopi. Ini menandakan bahwa hutan adalah milik dan harus memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang suku-bangsa, tidak bisa di-"claim" milik satu suku atau satu klan tertentu. Ini adalah kampanye antri rasis dan diskrimintaif dalam pengelolaan hutan.

Topi caping petani menyiratkan bahwa petani bukanlah perusak hutan, tetapi justru mereka mempunyai ketrampilan lokal dalam pengelolaan hutan dan secara mandiri membangun ekonomi-sosial mereka.

Kopi menjadi lambang kesejahteraan ekonomi swadaya masyarakat, dan kopi bukanlah komoditi yang haus zat kimia, tetapi bisa menjadi bagian dari tanaman kehutanan dengan pola hutan campuran (agro-forest).

Kontak : Rivani Noor (081274145333), Feri Irawan (081221082005), Sarwadi (081366485861)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar