Laporan Investigasi Banjir Bandang Desa Sabulan dan Desa Buntu Mauli-Ransang Bosi Kecamatan Sitio-tio, Kabupaten Samosir, 29 April 2010 Disiapkan oleh: Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Medan Gereja Katolik Paroki Santo Fransiskus Asisi, Palipi, Samosir Anggota Tim: Dimpos Manalu (KSPPM) Leo Karnelo Tarigan (PSE-KAM) Delima Silalahi (KSPPM) Ferdinan Marpaung (PSE-KAM) Nova Gurusinga (KSPPM) Anggiat Sinaga (KSPPM) Sebastian Hutabarat (Fotografer) Pembimbing: P. Albert Pandiangan, OFM Cap P. Masseo Sitepu, OFM Cap Pemandu Lapangan: Koi Sinaga (warga Sabulan) Arludin Sinaga (warga Sabulan) Manontong Situmorang (warga Sabulan) I. METODOLOGI
Peralatan:
II. DESKRIPSI
2. Kondisi di puncak hutan (tombak) Banua Raja hanya ditumbuhi pohon pinus dan makadame yang tumbuh jarang, serta ditumbuhi semak belukar (ilalang, sampilpil, arsam, dan tumbuh-tumbuhan kecil). 3. Di puncak tidak ditemukan satu pun sungai atau anak sungai yang mengalir ke Sabulan. Sedangkan sumber air Sungai Haranggaol berasal dari mata-mata air dari rongga tanah dan batuan, yang disebut masyarakat sebagai ronggang. Hulu sungai ini berada sekitar 150-200 meter di bawah puncak/permukaan hutan Banua Raja (sering juga disebut hutan Haranggaol). Namun, di puncak hutan Banua Raja ditemukan dua aliran sungai kering (rura) pendek yang mengarah ke Sabulan. Rura ini menampung air hujan (tangkuju) yang tidak terserap di dalam tanah (hutan); terlihat dengan jelas bekas aliran air hujan menggerus semak belukar (ilalang) menuju rura. 4. Ditemukan juga satu sungai kering berpasir tebal yang alirannya menuju ke Tipang dan Bakkara (dikenal masyarakat sebagai binanga mahiang). Hanya mengalir pada musim hujan. Di situ tumbuh tumbuhan liar, seperti rias, arsam, dll. Satu lagi ditemukan Sungai Ompu Lambok yang alirannya menuju Tipang dan Bakkara juga. Sungai yang terakhir inilah yang dialirkan sebagai sumber irigasi ke Sabulan.[1] Namun, saluran irigasi yang dibangun pertama kali tahun 2002 hanya berfungsi sekitar setahun. Kemudian diperbaiki tahun 2006, tapi tidak berfungsi dengan baik sejak tahun 2007. Saluran irigasi ini tersumbat tanah dan sudah ditumbuhi ilalang. 5. Tekstur tanah sepanjang DAS Haranggaol berbatu, berpasir, dan rapuh, dengan kemiringan (sindor) sekitar 80 derajat. Beberapa wilayah/areal hutan alam di sepanjang DAS berhumus tebal. Sepanjang jalan mendaki di sisi kanan-kiri Sungai Haranggaol terdapat aneka pohon alam, banyak di antaranya berdiameter kurang lebih 1 m. Juga terdapat aneka ragam tumbuhan alam dan fauna seperti anggrek hutan, tahul-tahul (kantong semar), ular besar, kera (herek), rusa (ursa), kambing hutan (belu). Pada pagi dan sore hari terdengar nyaring suara kera dan imbo. 6. Di sepanjang DAS Haranggaol tidak ditemukan bekas penebangan pohon karena bagi warga Sabulan kawasan hutan ini sangat sakral di mana terdapat dua sumber/mata air bersih dan disakralkan (mual) yakni mual Ompung Boru Siboru Pareme dan mual Ompung Doli Si Raja Lontung yang diyakini bisa memberi berkat dan kesembuhan. Di puncak juga terdapat patung Si Raja Lontung, yang kini telah menghilang (diduga dicuri). Di sana terlihat sesajen, seperti daun sirih, jeruk purut, telur ayam kampung, dan puntung rokok, yang terletak dengan rapi. Kondisi kedua mual terlihat terawat. Namun jalan kecil bersemen yang dibangun pemerintah menuju mual Si Raja Lontung sudah lapuk dan pecah-pecah. Beberapa bekas bungkus makanan ringan, botol air mineral, bungkus dan puntung rokok terlihat berserak sepanjang jalan dan di sekitar mual. 7. Namun, menurut warga yang biasa berburu, mencari rotan, dan berziarah ke mual dan patung Si Raja Lontung menyatakan sebelum banjir bandang terjadi, mereka acap mendengar suara gergaji mesin (chain-saw) dari arah kawasan hutan Hutagalung dan Pollung. Warga juga mengaku, debit air Sungai Haranggaol mengecil ketika musim kemarau dan membesar pada musim hujan sejak kedua kawasan hutan Hutagalung dan Pollung mulai ditebang. 8. Sepanjang punggung bukit menuju ke mual Si Raja Lontung ditumbuhi semak belukar (ilalang, arsam, sampilpil, dll) serta pohon pinus yang tumbuh jarang. Tidak ditemukan lagi pepohonan alam yang besar dan rimbun. Ditemukan juga sekitar 4 rante ladang kopi milik masyarakat. 9. Longsor besar terjadi di dua titik di puncak hutan Banua Raja, di atas Desa Sabulan, di bawah mual Si Raja Lontung. Di atas longsor yang paling besar terlihat pohon bambu dan pepohonan lain. Di sepanjang DAS Haranggaol terlihat pohon-pohon besar tercerabut dan tumbang. Bebatuan kecil dan besar hingga berdiameter 2 meter lebih berjumpalitan di sepanjang hulu hingga hilir sungai, yang menerjang pemukiman dan perladangan penduduk. Sepanjang aliran sungai mengalami pelebaran dan terlihat bekas benturan kayu dan bebatuan.
11. Di hulu Sungai Haranggaol terdapat beberapa mata air besar yang menyatu ke sungai. Menurut warga, dulu debit mata air ini kecil.
III. ANALISIS 1. Tekstur tanah sepanjang DAS Haranggaol dan bukit di atas Ransang Bosi adalah berbatu, berpasir, rapuh, berongga, dan terjal (sindor) sehingga sangat rawan erosi dan longsor. Kerusakan hutan di dataran tinggi sekitarnya (terutama kawasan hutan Hutagalung dan Pollung) membuat tekstur tanah yang rapuh ini semakin rawan erosi dan longsor pada musim hujan. Memang tidak ditemukan adanya aliran sungai atau anak sungai yang mengalir langsung dari kedua kawasan hutan ini ke Sungai Haranggaol dan Ransang Bosi, namun diperkirakan air meresap dan mengalir secara perlahan dan bersifat akumulatif di bawah permukaan tanah melalui rongga-rongga. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya mata-mata air baru yang mucul sepanjang DAS Haranggaol dan Ransang Bosi pada musim hujan. Sungai Haranggaol sendiri terbentuk dari mata-mata air, tidak dibentuk kumpulan anak sungai sebagaimana lazimnya. 2. Selama ini hutan di Banua Raja (atau sering juga disebut hutan Haranggaol) masih mampu berfungsi sebagai resapan dan menjadi sumber air utama ke Desa Sabulan. Namun, hutan ini tak lagi mampu meresap dan menahan limpahan air hujan (tangkuju) dan air dalam volume besar dari/dan karena penebangan hutan di dataran tinggi (Hutagalung dan Pollung sekitarnya). IV. KESIMPULAN 1. Banjir bandang terjadi karena kerusakan lingkungan di dataran tinggi bukan merupakan bencana alam biasa/murni. Banjir bandang terjadi karena naiknya debit air Sungai Haranggaol, demikian juga sungai-sungai yang hanya mengalir pada musim hujan di Ransang Bosi. Debit air ini berasal dari limpahan air hujan (tangkuju) dan membesarnya mata-mata air dari rongga-rongga batuan (ronggang) yang berasal dari kawasan hutan di dataran tinggi seperti Hutagalung (terutama) dan Pollung sekitarnya. Jarak kedua kawasan hutan dimaksud sekitar 4-7 km garis lurus dari lokasi banjir, namun mengingat posisinya yang jauh lebih tinggi memungkinkan adanya aliran air melalui rongga-rongga tanah dan bebatuan. 2. Penyebab banjir bandang bukan disebabkan pecahnya bendungan air irigasi di Sungai Ompu Lambok—seperti diklaim beberapa pihak—karena aliran sungai ini menuju Tipang dan Bakkara. Saluran irigasi yang dibangun pemerintah justru bertujuan mengalirkan air sungai ini ke Sabulan. Tidak logis, jika pecahnya bendungan ini menyebabkan banjir ke Sabulan; tapi sebaliknya menyebabkan kekeringan. 3. Banjir bandang juga tidak dipicu penebangan hutan di kawasan Banua Raja (Haranggaol) karena tidak ditemukan adanya bekas tebangan. Bagi masyarakat Sabulan dan sekitarnya, kawasan hutan ini sangat sakral dan dijaga terkait aspek historis dan kultural leluhur Si Raja Lontung. Memang kawasan hutan ini tidak begitu lebat, hanya ditumbuhi pohon pinus dan makadame yang jarang, serta tumbuhan semak-belukar; namun selama ini masih mampu sebagai daerah resapan dan tidak mengalami longsor pada musim hujan. 4. Beberapa pihak harus BERTANGGUNG JAWAB atas terjadinya kerusakan lingkungan dan banjir bandang ini: a. Pemerintah pusat (up. Departemen Kehutanan) yang memberikan ijin/konsesi HPH-TI serta rencana kerja tahunan (RKT) kepada PT Toba Pulp Lestari (sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama) yang berada di dataran tinggi dan sebagian merupakan daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba, yang berdampak ekologis secara langsung terhadap masyarakat di dataran rendah. b. Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Samosir, serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (masing-masing up. Dinas Kehutanan) yang memberi rekomendasi ijin lahan/lokasi kepada PT Toba Pulp Lestari di dataran tinggi dimaksud. c. PT Toba Tulp Lestari (TPL) yang melakukan penggundulan hutan di dataran tinggi Hutagalung dan Pollung. d. Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Samosir yang keduanya memberikan ijin terhadap keberadaan dan operasi sawmill di kawasan hutan tersebut. Tanggung jawab yang besar diemban Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan karena memiliki wilayah yang lebih luas atas kawasan hutan Hutagalung dan Pollung, sedangkan Pemerintah Kabupaten Samosir harus bertanggung jawab untuk melindungi dan tidak bisa melakukan pembiaran terhadap warga negara dari ancaman bencana di wilayahnya. Pengabaian beberapa pihak disebutkan di atas terhadap tanggung jawab ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. V. REKOMENDASI 1. Jika kondisi hutan Banuaraja (Haranggaol) dan vegetasinya tidak diperbaiki, dan jika penggundulan hutan tetap terjadi dan meluas di Hutagalung dan Pollung, maka ancaman longsor dan banjir bandang lebih dahsyat diperkirakan akan terjadi lagi. Ancaman banjir bandang paling besar akan mengancam desa-desa di dataran rendah seperti Kecamatan Sitiotio, Harian, dan Bakkara. Semua kawasan hutan ini memiliki kaitan ekologis langsung, yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain. Penghijauan harus dilakukan segera. 2. Pemerintah daerah dan pusat (secara terpisah atau bersama-sama) harus mencabut konsesi atau hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri-monokultur Palipi, 5 Mei 2010 [1][1] Klaim yang menyatakan banjir bandang diakibatkan pecahnya bendungan Sungai Ompu Lambok tidak logis, sebab aliran sungai secara alamiah menuju ke Tipang dan Bakkara; justru karena aliran sungai ini tidak menuju Sabulan sehingga dialirkan melalui kanal (irigasi teknis) ke Sabulan |
Tentang Tata Ruang Sumatera
Dear all
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.
Blog ini merupakan Kumpulan Persoalan2 yang terkait dengan penataan ruang pulau sumatera, Jika ada yang tertarik berkontibusi untuk menjadi penulis silahkan kirimkan email ke tataruang.sumatera@yahoo.co.id. Sementara ini lagi dilakukan posting secara berkala berdasarkan arsip beberapa mailing list lingkungan yang terkait dengan konflik penataan ruang.
Jumat, 04 Februari 2011
Laporan Investigasi Banjir Bandang Samosir (Sumatra Utara)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar