Hipotesis umum: “ …. Ketidakberesan tata ruang terjadi sejak lama, meningkat sejalan dengan pembangunan, mulai meningkat pesat pada pertengahan tahun 1980-an, dan “pelanggaran sistematik/legal” justru memuncak pada periode setelah ada UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan telah ada Keppres No 75 tahun 1993 yang menunjuk Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas sebagai Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) ….”
- Secara hipotesis kiranya dapat dikatakan bahwa sebagian besar (bahkan mungkin hampir semua) produk rencana tata ruang Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, baik yang telah memiliki dasar hukum seperti Keppres (contoh Bopunjur), Inpres (contoh Jabotabek), dan Peraturan Daerah, apalagi yang belum memiliki kekuatan hukum, tidak dilaksanakan secara konsekuen. Rencana tata ruang yang disiapkan pemerintah/pemerintah daerah tidak menjadi pedoman, atau cenderung dilanggar.
- Sementara rencana tata ruang yang diawali dengan “bussiness plan” secara efektif terwujud, meskipun mungkin tidak sesuai, bahkan sangat menyimpang dari rencana tata ruang yang telah disiapkan pemerintah/pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat baik dalam kegiatan pengembangan kawasan skala besar seperti perkebunan besar dan “kota baru”, maupun kawasan skala kecil seperti “bussiness district” dan perumahan yang dikelola pengusaha real estate atau “shopping mall”.
- Izin konversi hutan menjadi perkebunan besar dan HPH telah mengubah bentang alam seluas jutaan hektar. Pada kawasan-kawasan tumbuh cepat, seperti di Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), Gerbang Kertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, dan Lamongan), Bandung Raya (Kota dan Kabupaten Bandung), Mebidang (Medan, Binjai, dan Deli Serdang), Batam, dan kawasan-kawasan wisata di Bali serta Lombok, telah terjadi perubahan tata ruang yang sangat besar pada periode sejak pertengahan tahun 1980-an. Di Botabek saja, sebagai contoh, telah dikeluarkan izin lokasi pembebasan tanah untuk pemukiman (termasuk jalur Bogor-Puncak-Cianjur) seluas lebih dari 100.000 ha.
- Laju pembangunan pada kawasan-kawasan tersebut memuncak sejak awal tahun 1990-an, di sertai berbagai penyimpangan dari rencana tata ruang,bahkan, secara konseptual berbeda sama sekali dari konsep awal yang terkandung dalam rencana tata ruang.
Ketidakberesan juga terjadi karena rencana penatataan ruang sering tidak mengakomodasi kebutuhan mendasar kelompok masyarakat kurang mampu, seperti untuk perumahan dan tempat usaha. Proses yang terjadi adalah “penyerobotan” penggunaaan lahan secara liar yang dimulai secara sporadis sedikit demi sedikit dan menjadi besar. Contoh : pada kawasan tumbuh cepat seperti tersebut pada b, dan di sekitar pusat-pusat kegiatan, sarana, dan prasarana ekonomi.
Selengkapnya dapat didownload disini: http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8218/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar