Agribisnis Kamis, 16/04/2009
JAKARTA: Skema pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi (Reduction Emission from Degradation and Deforestation/REDD) yang digagas dalam mengatasi perubahan iklim, belum tentu akan menguntungkan Indonesia.
"Untuk itu, perlu dicari alternatif skema penggalangan dana untuk perdagangan karbon di luar REDD," kata Menhut M.S. Kaban seusai membuka seminar nasional bertema Menggalang Inisiatif Perdagangan Karbon Sukarela, di Manggala Wanabakti, kemarin.
JAKARTA: Skema pengurangan emisi dari degradasi dan deforestasi (Reduction Emission from Degradation and Deforestation/REDD) yang digagas dalam mengatasi perubahan iklim, belum tentu akan menguntungkan Indonesia.
"Untuk itu, perlu dicari alternatif skema penggalangan dana untuk perdagangan karbon di luar REDD," kata Menhut M.S. Kaban seusai membuka seminar nasional bertema Menggalang Inisiatif Perdagangan Karbon Sukarela, di Manggala Wanabakti, kemarin.
Skema alternatif itu, katanya, sudah harus disusun dari sekarang mengingat skema REDD belum tentu menguntungkan Indonesia. "Jujur saja, kita terkesima dengan REDD yang bagus, tetapi eksekusinya sulit dan tidak terlalu menguntungkan. Kita harus cari skema yang simple, murah, dan bisa selamatkan hutan. Selain itu, mencegah deforestasi, tetapi masyarakat dapat manfaatnya," kata Kaban.
Dengan skema REDD, menurut Kaban, Indonesia berharap bisa mendapat suntikan dana asing sampai US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) per tahun. Meskipun demikian, dia tetap tidak bisa menjelaskan berapa nilai riil yang bisa didapat masyarakat Indonesia yang sudah menjaga hutannya.
"REDD memang bisa jadi jalan kita dapat dana asing untuk kelola hutan. Istilahnya, hutan kita nyerap karbon, tapi kita gak dapat upahnya karena skema yang rumit tadi," tuturnya.
Rencana Aksi Nasional Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan (Aksi segera 2007-2009, 2009-2012, 2012-2025 dan Rencana Aksi 2025-2050)
Rencana aksi
Pendidikan kebijakan
Tahun (juta ha kumulatif dan juta ton Co2)
2007/2009
2009/20012
2012-2025
2025/2050
1. Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan carbon.
HTI
3,6 (105,5/thn)
7,2 (210,9/thn)
9,31 (272,8/thn)
11,62 (340,5/thn)
HTR
3,6 (105,5/thn)
5,4 (158,2/thn)
9 (263,7/thn)
12,98(380,3/thn
HR
2,0 (58,6/thn)
4 (117,2/thn)
8 (234,4/thn)
Rehabilitasi
-H.Lindung
0,5
1
5
17,9
-H Konservasi
1,5
2
5
11,4
2. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
-Illegal logging, fire, environmentally llogging practice
23,12 (3,39)
23,12 (3,39)
23,12 (3,39)
23,12 (3,39)
-H.Lindung
13,39 (19.643)
14,39 (21.110)
19,39 (28.445)
31,29 (45902,4)
-H.Konservasi
10,24 (15.022,1)
15,39 (22.577,1)
20,39 (29.912,1)
21,66 (31.775,2)
Sumber: Balitbang Dephut
"Kita juga mendesak negara maju yang selama ini diuntungkan oleh keberadaan hutan Indonesia, yang menyerap emisi mereka, untuk memberikan insentif. Masalahnya, kita tidak bisa menunggu. Oleh Karena itu, kita harus cari skema alternatif yang lebih simple dan murah,"tutur Kaban.
Skema alternatif yang murah, kata dia, tidak hanya datang dari pemerintah, seperti REDD, tetapi juga dari lembaga lain seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang diharapkan mampu menyusun skema perdagangan karbon secara sukarela (voluntary carbon trade).
Selain itu, menurut dia, LEI juga diminta menyiapkan tata aturan dalam sertifikasi kawasan hutan milik negara ataupun rakyat sebelum memasuki pasar perdagangan karbion internasional.
"Dengan kita coba skema alternatif yang mengarah pada perdagangan karbon sukarela, kawasan hutan bisa dijaga utuh dengan libatkan masyarakat. Saya rasa LEI bisa menyusun skema perdagangan karbon sukarela," katanya.
Menurut dia, kerja sama LEI dengan Koperasi Perumahan Wana Nusantara (KPWN), yang mengelola penanaman berdasarkan prinsip pengelolaan batang tanaman, bisa menjadi plot atau contoh riil skema perdagangan karbon sukarela.
Sertifikasi karbon
Ahli Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Teddy Rusolono, mengatakan skema perdagangan karbon yang sekarang berlaku melibatkan paling tidak sepuluh pihak, sejak dari penjual sampai pembeli. "Karena itu, skema perdagangan karbon secara sukarela ini harusnya bisa ikut memperpendek birokrasi dan menurunkan biaya administrasi," ujarnya.
Plt Direktur Eksekutif LEI, Daru Asycarya, mengatakan LEI sedang menyusun skema alternatif perdagangan karbon sukarela yang disebut Menhut Kaban. Selain itu,LEI juga mengembangkan standar sertifikasi karbon pada hutan berbasis masyarakat. (erwin.tambunan@bisnis.co.id)
Oleh Erwin Tambunan
Bisnis Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar