Penataan Ruang
Dalam Potret Krisis Sumatra
I. Pendahuluan
Bumi air dan seluruh kekayaan alam yang berada dibawahnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Makna dari menguasai disini adalah pemberian hak untuk mengatur pengelolaannya oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Supaya tidak terjadi perebutan pengaturan pada masing masing departemen maka dibuatlah UU Penataan Ruang UU No 24 tahun 1992 yang dirobah menjadi UU No 26 tahun 2007. Dari UU No 26 tahun 2007 ini kemudian diturunkan menjadi PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang terdiri dari pola ruang dan struktur ruang wilayah nasional. Dari pola Ruang dan struktur ruang inilah kemudian harus diterjemahkan ke rencana kerja masing masing departemen termasuk departemen kehutanan.
Semangat utama dalam UU 26 tahun 2007 adalah menertibkan kembali perizinan yang ada baik itu akibat kesalahan perencanaan masa lalu maupun akibat dari perobahan rencana tata ruang2. Regulasi ini dilengkapi juga dengan sanksi pidana bagi pejabat yang memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
II. Regulasi Penataan Ruang
Konflik pemanfaatan ruang didasari oleh tidak harmonisnya peraturan perundangan departemen sektoral terkait penataan ruang dan pengelolaan sumberdaya alam. Sistem peraturan perundangan tidak menempatkan ketentuan-ketentuan penataan ruang (termasuk Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang) “di atas” ketentuan-ketentuan sektoral[1]. Akibatnya Undang-undang yang seharusnya bersifat mengkoordinasikan dan mengintergrasikan hubungan antar sektor seperti UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU 26/2009 tentang Penataan Ruang, UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jadi tidak efektif dalam mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemanfaatan ruang secara lintas sektor. Ketidak harmonisan peraturan perundangan dan ketidakpastian hukum berdampak besar dan membuka peluang praktek-praktek pelanggaran pemanfaatan ruang.
III. Penyusunan Pola Ruang
A. Kawasan lindung:
Secara Substansi tidak terdapat perbedaan mendasar dari kriteria penetapan pola ruang baik berdasarkan aturan penataan ruang maupun aturan kehutanan hanya terdapat penambahan kawasan bergambut dengan kategori 3 meter atau lebih.yang belum diatur dalam aturan kehutanan Metoda dan dan cara penghitungan dan penetapan kawasan relatif sama dengan memperhitungkan curah hujan, kemiringan lereng dan jenis tanah. Tambahan kategori lindung pada aturan penataan ruang adalah kawasan rawan bencana, kawasan lindung geologi dan kawasan lindung lainnya. Kriteria yang dipakai dalam menentukan kawasan2 ini juga berdasarkan daya dukung lingkungan.
Seharusnya tidak ada perbedaan delineasi kawasan lindung antara RTRWN dengan RTRWP maupun RTRWK. Kalaupun perbedaan ini muncul seharusnya yang terlihat hanyalah perbedaan tingkat ketelitian peta karena dihitung dan didelinesai pada skala yang berbeda. Fakta lapangan menunjukkan bahwa masing masing kabupaten atau provinsi berlomba-lomba mengusulkan perobahan fungsi kawasan dengan berbagai alasan. Kawasan itu seharusnya tidak bisa dirobah tanpa perubahan dari faktor-faktor geografis dan iklim pada kawasan tersebut. Perobahan fungsi kawasan bisa dikategorikan pelanggaran tata ruang kalau merujuk pada kriteria yang terdapat dalam PP 26 tahun 2008.
Perbedaan peta pola ruang yang antara RTRWN, RTRWP maupun RTRWK disebabkan oleh perbedaan data yang dipakai dan metoda analisis dalam penetapan pola ruang. Banyak dokumen RTRWP dan RTRWK yang tidak bisa menjelaskan proses dan analisis penetapan kawasan kawasan lindung secara spasial yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang mengacu pada kriteria2 yang terdapat dalam PP 26 tahun 2008.
B. Kawasan Budidaya:
Kriteria kawasan budidaya pada dasarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan hidrologi kawasan, bukanlah berdasarkan penguasaan sektoral. Beberapa subkategori kawasan budidaya diantaranya:
1. Kawasan Hutan Produksi Terbatas ditetapkan dengan skor 125 sampai 174 Kawasan ini secara hidrologi masih berfungsi lindung dan dapat dikelola secara terbatas dan hanya diperuntukkan untuk budidaya hutan alam
2. Kawasan Hutan Produksi Tetap ditetapkan dengan skor kurang dari 124 dipertahankan sebagai kawasan hutan dan diharapkan masih mempunyai fungsi hidrologi yang baik.
3. Kawasan Hutan Produksi Konversi ditetapkan dengan skor kurang dari 124 diperuntukkan untuk budidaya pertanian, perkebunan dll.
Ketiga fungsi hidrologi kawasan diatas diperuntukkan bukanlah untuk kepentingan sektoral, tetapi berdasarkan kepentingan masyarakat dan pengaturan iklim mikro untuk budidaya pertanian dll.
Klaim departemen sektoral dan pembagian pengelolaan pada kawasan budidaya merubah paradigma penggunaan lahan sehingga menyimpang dari fungsi hidrologinya. Hal ini bisa dikatakan sebagai penyimpangan atau pelanggaran dalam penataan ruang.
1. Kawasan Hutan Produksi Terbatas.
Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 sampai dengan 174. Banyak izin Hutan tanaman industri dengan pola tebang habis permudaan buatan pada kawasan ini diberikan oleh departemen kehutanan yang merubah fungsi hidrologi kawasan. Dampak yang ditimbulkan adalah meningkatnya frekwensi banjir pada kawasan rawan banjir.
2. Kawasan Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi Konversi
Kawasan peruntukan hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124. Secara hidrologi kedua kawasan ini mempunyai fungsi yang sama. Perbedaannya adalah Hutan produksi diperuntukkan bagi budidaya tanaman kehutanan sedangkan hutan produksi konversi diperuntukkan bagi budidaya non kehutanan. Penyimpangan yang muncul adalah:
a. Departemen kehutanan menerbitkan izin HTI pada kawasan hutan produksi konversi akibatnya mempersempit lahan pertanian dan perkebunan bagi masyarakat.
b. Pemerintah provinsi/ Kabupaten menerbitkan izin izin perkebunan pada kawasan hutan produksi.
Kedua persoalan ini tidak berimplikasi secara hidrologi, tetapi berdampak pada konflik vertikal dan horizontal sesama instansi pemerintah dan dapat diselesaikan dengan kesepakatan.
IV. Penertiban Pola Ruang
UU 26 tahun 2007 menegaskan untuk menertibkan perizinan yang tidak sesuai dengan RTRWN, RTRWP maupun RTRWK. (lihat Gambar 1). Perlawanan secara tidak langsung dilakukan oleh departemen sektoral di tingkat nasional maupun oleh provinsi atau kabupaten. Beberapa upaya yang berpotensi melemahkan UU No 26 tahun 2007 diantaranya:
1. Menerbitkan izin IUPHHK-HT pada kawasan lindung nasional setelah PP 26 tahun 2008 ditetapkan
2. Melakukan intervensi terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dengan mengutamakan aspek legalitas perizinan sebagai dasar dari verivikasi utama penyusunan RTRWP. [2] dengan membentuk Tim Terpadu.
Perlawanan yang muncul dari tingkat provinsi dan kabupaten diantaranya:
1. Pemutihan pelanggaran untuk kawasan perkebunan dengan alasan terlanjur sudah ada izin (Kawasan lindung menjadi budidaya, Hutan Produksi menjadi APL, Hutan Produksi terbatas menjadi APL), mengamankan kebijakan gubernur/ Bupati
2. Penetapan fungsi kawasan berdasarkan lobi-lobi politik kepentingan investasi.
V. Data Penyusun Tata Ruang
Konflik tata ruang berawal dari perbedaan data dan interpretasi terhadap kriteria2 kawasan sebagai elemen penyusun tata ruang. Tata Ruang haruslah merupakan sebuah kulminasi dari pertimbangan berbagai aspek yang berpengaruh di dalamnya . Beberapa fakta yang terkait dengan data dan informasi untuk penyusunan tata ruang[3]:
1. Data atau peta yang dihasilkan oleh berbagai institusi pembuatnya belum atau tidak memperhatikan kebutuhan untuk perencanaan tata ruang atau secara lebih umum, institusi pengguna peta lainnya, sehingga perencana atau pengguna peta sangat bergantung pada produk yang ada. Penelitian yang dilaksanakan menunjukkan bahwa rencana tata ruang disusun berdasarkan data yang tersedia dan bukannya data yang dibutuhkan (Akbar, 2000 dan Gumilar, 2003).
2. Pembuatan atau penyusunan suatu produk rencana (baik itu berupa Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Propinsi skala 1:250.000 hingga Rencana Detail Tata Ruang Kota skala 1:5.000) dilakukan dengan anggapan peta sudah tersedia dan tidak disediakan alokasi biaya untuk pembuatan peta (pada dana yang disediakan untuk menyusun rencana tersebut).
3. Penyusunan tata ruang belum memanfaatkan teknologi Remote Sensing maupun Geographical Information System karena mahal dan belum tersedianya data digital secara memadai. Pemanfaatan teknologi Remote Sensing dan Geographical Information System yang berkembang pesat tidak disesuaikan dalam jangkauan penggunaan yang luas atau dengan kata lain: banyaknya produk penelitian yang bersifat end product dan tidak dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lain atau bahkan tidak dimaintain (di update) secara memadai.
4. Berdasarkan pengamatan dilapangan; data digital yang sudah ada tidak/ belum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penataan ruang. Perkembangan SIG ada pada arah yang salah. SIG banyak diartikan sebagai pembuatan peta digital saja dan tidak dikaitkan dengan kemampuannya dalam spatial analysis dan konsepsi sharing data. Banyak sekali hasil atau produk pekerjaan yang hasilnya antara lain peta, tidak dapat digunakan dalam pekerjaan selanjutnya karena berbagai hal seperti ketidaksamaan sistem koordinat, ketidaksamaan definisi data, integrasi sistem yang tidak memungkinkan, prinsip cost recovery terhadap data digital yang sudah/akan dihasilkan.
5. Konsep ketelitian peta yang berbeda antara pembuat peta dan pengguna peta. Ketelitian peta yang dibutuhkan akan sangat bergantung pada jenis dan tingkatan rencana. Pada beberapa rencana ketelitian peta yang dibutuhkan kadang-kadang bukan merupakan hal utama, yang diutamakan adalah penyebaran/distribusi temanya, sedangkan beberapa peta lainnya ketelitian peta menjadi syarat utama. Misalnya: untuk analisis data atau peta yang menyangkut mengenai "property management" ketelian yang diutamakan adalah lokasi dan batas-batas fisiknya (kepastian lokasi bukan kepastian koordinat), sedangkan untuk "infrastructure management" maka ketepatan lokasi harus dicirikan dengan ketepatan koordinat.
6. Peta untuk penataan ruang dalam lingkup sistem informasi merupakan kebutuhan yang paling utama, tidak akan ada suatu keputusan yang baik dan benar jika tidak dilandasi oleh data atau peta yang baik dan benar. Dalam banyak hal, pertanyaan atau persoalan yang menjadi pokok perhatian pengambil keputusan yang sebagian besar bersifat makro, harus didukung oleh suatu basis data (peta) yang bersifat mikro. Misalnya persoalan luas kampung kumuh dan jumlah penduduk yang berada didalamnya baru dapat dijawab dengan sistem informasi yang berbasiskan plot atau persil.
7. Tidak atau belum adanya stratifikasi data yang dibutuhkan sesuai dengan tingkatan rencana yang akan dihasilkan. Dalam industri dikenal ISIC (international standard for industrial classification) tetapi dalam hal land use tidak dikenal adanya pembagian berdasarkan hirarki yang ada. Peta yang tersedia selama ini sebagian besar sering tidak sesuai dengan kebutuhan dalam perencanaan tata ruang, baik dalam hal skala maupun informasi yang terkandung di dalamnya. Data/informasi yang disesuaikan berdasarkan skala tersebut haruslah terintegrasi secara horisontal maupun vertikal.
8. Peraturan yang terkait dengan peta masih belum menunjang dan bahkan cenderung salah. PP10/2000 misalnya tidak menunjukkan adanya perbedaan kedalaman kontent peta pada berbagai macam skala. Jenis informasi yang diharapkan (kontent) seyogyanya harus dapat ditunjukkan sesuai dengan tingkatan skalanya.
Berdasarkan pengamatan/studi empiris pada penyusunan/kajian tentang penataan ruang menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya data dasar belum memadai pada berbagai tingkatan pengguna maupun pembuat data. Data tidak dilihat sebagai sebuah komoditi strategis untuk kepentingan jangka panjang, tetapi lebih dilihat sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak mempunyai manfaat langsung.
VI. Hak Atas Ruang
Pasal 33, ayat-1 UU 26/2007 menegaskan bahwa “pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.” Sedangkan pada bagian penjelasannya tertulis “bahwa yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain, antara lain, adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain melalui pengaturan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Selanjutnya dijelaskan pada pasal-33, ayat-2 UU 26/2007 tertulis “bahwa dalam rangka pengembangan penatagunaan tersebut, diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain”.
Dalam proses penyusunan Tata Ruang hampir tidak pernah dijumpai dokumen atau anailisis tentang neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumberdaya air , neraca penatagunaan udara maupun neraca penatagunaan sumberdaya alam. Sehinggga bisa dihitung bagaimana mendistribusikan sumberdaya alam secara adil kepada masyarakat.
Kecendrungan yang muncul adalah distribusi yang lebih besar didapatkan oleh pemodal besar. Kapasitas terpasang industri melebihi ketersediaan bahan baku yang pada akhirnya memicu kegiatan kegiatan illegal serta melakukan over eksploitasi terhadap sumberdaya alam yang tersedia yang pada akhirnya menimbulkan dampak bencana.
VII. Peran Serta Masyarakat
Tanpa adanya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan maka jelas rencana tata ruang yang dihasilkan belum dapat mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat pada wilayah perencanaan tersebut. Akibatnya sudah dapat diduga karena rencana tersebut tidak merupakaan kesepakatan seluruh masyarakat (stakeholders) maka jaminan dukungan masyarakat pada tahapan implementasi rencana tersebut menjadi sesuatu yang dipertanyakan. Dengan demikian maka tidaklah mengherankan apa-apa yang menjadi tujuan yang ingin dicapai melalui penataan ruang tidak akan pernah tercapai.
Pada sisi lain, pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan harus dapat dilakukan secara hati-hati dan benar berdasarkan konteks proses maupun substansi pada setiap tahapan yang ada. Tanpa persiapan yang baik dan benar, maka pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dapat menjadi suatu proses anarkhi yang bahkan tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Cukup banyak studi yang menunjukkan kegagalan peran serta masyarakat dalam proses penataan ruang karena tidak dipersiapkan dengan baik. Berdasarkan konteks kesisteman dan teknologi, peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dapat dilakukan dengan baik jika tercapai beberapa pemahaman antara lain seperti:
· Kesepakatan bersama tentang apa yang menjadi persoalan
· Kesepakatan bersama tentang apa yang akan dicapai
· Kesepakatan bersama tentang bagaimana mencapainya (kapan, dimana, berapa besar)
VIII. Kesimpulan
• Kematangan dalam penyusunan rencana tata ruang;
• Konsisten terhadap komitmen yang telah disepakati (rencana/ kebijakan lainnya)
• Membuka luas akses informasi dan partisipasi masyarakat.
• Membuka akses masyarakat bagi SDA (membuka sumber air, pesisir pantai, serta kawasan-kawasan yang dinyatakan undang-undang sebagai milik umum).
• Menghentikan penerbitkan izin sebelum ada rencana detail (zoning)
• Segera disiapkan peraturan-peraturan pelaksana.
• Ketegasan dalam penegakan hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar